Terima kasihku
“Ayo
Adi, bangun-bangun”, kata ibu.
“Adi masih ngantuk Bu”, jawab Adi dengan nada malas.
“Sekarang sudah pukul 7 Adi!”, kata ibu setengah marah.
Sontak aku terkejut. Mataku yang masih ngantuk sekarang menyala 100 watt. Langsung aku melompat dari tempat tidurku dan lari terbirit-birit ke kamar mandi. Byurrrrr… bunyi air yang ku timba. Tampa pamit ke ibu aku langsung mengayuh sepeda ku ke sekolah.
“Adi masih ngantuk Bu”, jawab Adi dengan nada malas.
“Sekarang sudah pukul 7 Adi!”, kata ibu setengah marah.
Sontak aku terkejut. Mataku yang masih ngantuk sekarang menyala 100 watt. Langsung aku melompat dari tempat tidurku dan lari terbirit-birit ke kamar mandi. Byurrrrr… bunyi air yang ku timba. Tampa pamit ke ibu aku langsung mengayuh sepeda ku ke sekolah.
Namun
apa daya, setibanya di sekolah bel tanda masuk sudah lama berbunyi. Ah!,
sialnya nasibku. Ternyata nasib sialku masih berlanjut. Sekarang jadwal Pak
Amin, guru paling horor mengajar di kelasku. Kalau terlambat pasti
ujung-ujungnya membersihkan WC. WC itu terkenal dengan bau pesingnya yang
pekat. Benar saja pak Amin sedang mengajar di kelas ku.
“Kenapa kamu terlambat”, Tanya pak Amin dengan wajah sangar.
“S…s…s, saya terlambat Pak”, jawabku ketakutan.
“Memangnya jam berapa matahari terbit di rumahmu?”, Tanya pak Amin dengan guyonan sangarnya.
Guyonan pak Amin membuat seantero kelas tertawa.
“Ha..ha..ha..ha”, tawa temanku.
“Diam!, siapa yang suruh kalian tertawa.
Sontak kelas menjadi hening.
“Baik Adi, sekarang kamu keluar dan bersihkan WC itu”, kata pak Amin sambil menunjuk ke WC di sudut sekolah.
“Baik Pak”, jawabku pasrah.
“Kenapa kamu terlambat”, Tanya pak Amin dengan wajah sangar.
“S…s…s, saya terlambat Pak”, jawabku ketakutan.
“Memangnya jam berapa matahari terbit di rumahmu?”, Tanya pak Amin dengan guyonan sangarnya.
Guyonan pak Amin membuat seantero kelas tertawa.
“Ha..ha..ha..ha”, tawa temanku.
“Diam!, siapa yang suruh kalian tertawa.
Sontak kelas menjadi hening.
“Baik Adi, sekarang kamu keluar dan bersihkan WC itu”, kata pak Amin sambil menunjuk ke WC di sudut sekolah.
“Baik Pak”, jawabku pasrah.
Setelah
membersihkan WC, aku kembali ke kelas. Pada saat itu Pak Amin sedang membagikan
hasil ulangan minggu lalu. Bisa kutebak nilaiku pasti rendah. Ternyata dugaanku
benar, nilaiku hanya 50. Nilai ulanganku sudah terlalu banyak rendah, sehingga
mempertipis harapanku untuk naik ke kelas IX. Apalagi ujian kenaikan kelas
tinggal beberapa minggu lagi.
Nilaiku
tidak pernah memuaskan, seringkali jalan di tempat. Tiap semester aku sering
menjadi penghuni juru kunci di kelasku. Aku ingin nilaiku naik, tapi aku
terlalu malas untuk berusaha. Naik ke kelas VIII saja aku sudah syukur, itu pun
dengan percobaan, apalagi untuk naik ke kelas IX, bukan perkara mudah. Jika
nilai dan prilaku tidak mendukung resikonya ya tinggal kelas.
Senin
pagi setelah upacara bendera, aku dipanggil ke ruang BK.
“Adi, kamu dipanggil ke ruang BK”, kata Rian
“Ya, aku segera ke sana”, jawabku
“Adi, kamu dipanggil ke ruang BK”, kata Rian
“Ya, aku segera ke sana”, jawabku
Ruang
BK bagaimana rupanya?, pikirku. Selama aku sekolah di sini aku belum pernah
masuk ke ruang BK. Kata temanku ruang BK mirip ruang introgasi, di sana
dihujani dengan puluhan pertanyaan. Namun tidak sedikit yang menyebutkan ruang
BK itu menyenangkan karena bisa konsultasi dan curhat.
Akhirnya
aku sampai di ruang BK. Tempatnya sederhana, hanya sebuah ruangan di samping
kantor guru.
“Assalamua’laikum”, kataku.
“Waa’laikumussalam”, terdengar jawaban salam dari dalam ruangan
Aneh sekali itu bukan suara Bu Ami, guru BK. Suaranya berat seperti suara laki-laki
“Ayo masuk, Adi”
Alangkah terkejutnya aku ternyata ayah. Kenapa ayah ada di sini, bukankah beliau sedang dinas di Jakarta untuk beberapa tahun ke depan?. Oh, aku lupa kemarin wali kelas ku memberikan surat panggilan yang kesekian kalinya kepada ibuku. Ini dikarenakan nilaiku terus menurun dan tidak ada peningkatan. Pasti isi surat itu sudah samai ke telinga ayah sehingga ia sengaja meninggalkan pekerjaannya untuk memenuhi undangan tersebut.
“Assalamua’laikum”, kataku.
“Waa’laikumussalam”, terdengar jawaban salam dari dalam ruangan
Aneh sekali itu bukan suara Bu Ami, guru BK. Suaranya berat seperti suara laki-laki
“Ayo masuk, Adi”
Alangkah terkejutnya aku ternyata ayah. Kenapa ayah ada di sini, bukankah beliau sedang dinas di Jakarta untuk beberapa tahun ke depan?. Oh, aku lupa kemarin wali kelas ku memberikan surat panggilan yang kesekian kalinya kepada ibuku. Ini dikarenakan nilaiku terus menurun dan tidak ada peningkatan. Pasti isi surat itu sudah samai ke telinga ayah sehingga ia sengaja meninggalkan pekerjaannya untuk memenuhi undangan tersebut.
Bahagia
rasanya aku bertemu dengan ayah, sudah lama aku tak bertemu. Biasanya ayah
hanya pulang ketika Idul Fitri dan Idul Adha. Bukan pelukan hangat seorang ayah
yang kudapat namun sebuah tamparan tangan kiri yang mendarat di pipiku.
“Sakit Adi”, tanya ayah
“Sakit Yah”, jawabku sambil mengusap pipiku yang kemerahan
“Tamparan ayah tadi tak lebih sakitnya dari beratnya perjuangan pahlawan masa lalu”, kata ayah dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau pejuang masa lalu tidak berusah dengan segenap kemampuannya apakah kita bisa merdeka”, Tanya ayah kembali padaku.
“Tidak Yah”, jawabku.
“Sekarang apa tugasmu dengan kemerdekaan yang telah kita raih”?
“Mengisi dan mempertahankannya”
“Sekarang apakah kamu tahu bagaimana cara mengisi dan memepertahankan kemerdekaan ini?”
“Ti.. tidak Yah”
“Sekarang ayah minta tolong rajinlah belajar Adi, demi ayah dan demi ibu pertiwi agar tanah ini tidak kembali di jajah”, kata ayah menasehatiku.
“Baik Yah”, jawabku tegas
“Oh ya, ayah nanti tidak pulang, katakan pada ibu ya”
“Ya Ayah”
“Sakit Adi”, tanya ayah
“Sakit Yah”, jawabku sambil mengusap pipiku yang kemerahan
“Tamparan ayah tadi tak lebih sakitnya dari beratnya perjuangan pahlawan masa lalu”, kata ayah dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau pejuang masa lalu tidak berusah dengan segenap kemampuannya apakah kita bisa merdeka”, Tanya ayah kembali padaku.
“Tidak Yah”, jawabku.
“Sekarang apa tugasmu dengan kemerdekaan yang telah kita raih”?
“Mengisi dan mempertahankannya”
“Sekarang apakah kamu tahu bagaimana cara mengisi dan memepertahankan kemerdekaan ini?”
“Ti.. tidak Yah”
“Sekarang ayah minta tolong rajinlah belajar Adi, demi ayah dan demi ibu pertiwi agar tanah ini tidak kembali di jajah”, kata ayah menasehatiku.
“Baik Yah”, jawabku tegas
“Oh ya, ayah nanti tidak pulang, katakan pada ibu ya”
“Ya Ayah”
Ayah
tahu sekali cara membangkitkan semangatku. Kalau di kaitkan dengan perjuangan
rasa nasionalismeku langsung terbakar. Cara ayah di ruang BK sama Bung Tomo
menggelorakan semangat arek-arek Suroboyo untuk melawan penjajah
Sejak kejadian itu kehidupanku langsung berubah 180 derajat. Aku sekarang menjelma menjadi anak yang super rajin. Tak ada waktu luang yang ku buang sia-sia. Semuanya ku habiskan untuk belajar mempersiapkan ujian semester yang makin mendekat
Sejak kejadian itu kehidupanku langsung berubah 180 derajat. Aku sekarang menjelma menjadi anak yang super rajin. Tak ada waktu luang yang ku buang sia-sia. Semuanya ku habiskan untuk belajar mempersiapkan ujian semester yang makin mendekat
Akhirnya
ujian yang menjadi momok bagiku datang. Aku cukup percaya diri maenghadapi
ujian karena aku sudah mempersiapkan semua amunisi untuk ujian. Setelah
seminggu ujian akhirnya selesai. Sekarang tinggal melaksanakan classmeeting
Setelah
seminggu pembagian rapor datang. Aku sangat takut kalau-kalau aku tidak naik
kelas. Tenyata yang menerima rapor pertama adalah aku. Bu Emi, wali kelasku
menyodorkan rapor kepadaku. Ku buka pelan-pelan raporku. Isinya hitam semua,
tapi bukan hitam raksasa. Alangkah bahagianya aku ketika melihat kata “naik ke
kelas IX”. Ayah pasti bangga melihatnya.
Akupun
pulang dengan perasaan yang berbunga-bunga. Ibu pasti senang. Namun ketika aku
tiba, rumah ternyata ter kunci. Tiba-tiba tetanggaku Bu Tuti datang.
“Adi, ibumu ke rumah sakit, katanya ayahmu sedang dirawat”, kata bu Tuti.
“Ya Bu, ayah dirawat di mana Bu?”, Tanya ku kepada bu Tuti.
“Di Rumah Sakit Yarsi, ruangan IVB”, jawab bu Tuti.
“Terima kasih Bu”
“Sama-sama”.
“Adi, ibumu ke rumah sakit, katanya ayahmu sedang dirawat”, kata bu Tuti.
“Ya Bu, ayah dirawat di mana Bu?”, Tanya ku kepada bu Tuti.
“Di Rumah Sakit Yarsi, ruangan IVB”, jawab bu Tuti.
“Terima kasih Bu”
“Sama-sama”.
Segera
aku ke rumah sakit. Setahuku ayah memeng kurang sehat belakangan ini. Mungkin
kebiasaan buruknya, merokok telah berdampak ke paru-parunya. Tapi buka kah ayah
masih bekerja di Jakarta? Mungkin ayah memilih untuk pulang dan dirawat di
rumah sakit di dekat rumah.
Akhirnya
aku sampai di ruang rawat ayah. Keadan ayah sangat lemah. Ia harus memakai
infus dan alat bantu pernapasan.
“Yah, aku naik kelas”, kataku bahagia.
“Oh, benarkah Alhamdulillah”, jawab ayah dengan nada lemah
“Adi ayah mau pergi, rajin-rajinlah belajar, jaga dirimu baik-baik”, ayah melanjutkan permbicaraannya.
“Tapi pergi ke mana Yah”, tayaku heran.
Tidak ada jawaban dari ayah, ayah hanya diam. Lalu terdengar ucapan syahadat dari ayah dan beliau menghembuskan nafas terakhirnya.
Sontak aku dan ibu menangis, aku merasa tidak ikhlas dengan kepergian ayah, namun biarlah ayah pergi. Itu sudah ketentuan Allah. Ternyata ayah sudah tidak kuat melawan penyakitnya.
“Selamat jalan ayah, semoga tenang di alam sana dan terima kasih, TERIMAKASIH”, kata ku kepada jasad ayah yang sudah tak bernyawa.
“Yah, aku naik kelas”, kataku bahagia.
“Oh, benarkah Alhamdulillah”, jawab ayah dengan nada lemah
“Adi ayah mau pergi, rajin-rajinlah belajar, jaga dirimu baik-baik”, ayah melanjutkan permbicaraannya.
“Tapi pergi ke mana Yah”, tayaku heran.
Tidak ada jawaban dari ayah, ayah hanya diam. Lalu terdengar ucapan syahadat dari ayah dan beliau menghembuskan nafas terakhirnya.
Sontak aku dan ibu menangis, aku merasa tidak ikhlas dengan kepergian ayah, namun biarlah ayah pergi. Itu sudah ketentuan Allah. Ternyata ayah sudah tidak kuat melawan penyakitnya.
“Selamat jalan ayah, semoga tenang di alam sana dan terima kasih, TERIMAKASIH”, kata ku kepada jasad ayah yang sudah tak bernyawa.
Cerpen
Karangan: Farhan Ramadhan
Untuk AyahSepintas
Kareen melewati rumah itu. Matanya berbinar ketika sesosok bidadari cantik
tepat di depan rumah tersebut. Di ingat sosok bundanya yang telah pergi 3 tahun
lalu.
“Bunda.. sayangnya itu hanya khayalanku.” Batinnya.
“Bunda.. sayangnya itu hanya khayalanku.” Batinnya.
Di rumah…
“Kareeen! Sini !”
“Ada apa Yah?”
“Ada apa ada apa. Dari mana saja kamu! Kerjaan kamu masih banyak di rumah!”. “Braaak!!” Pintu kamarnya tertutup kencang.
“Tuhan, tolong sadarkan ayah..” Air matanya bercucuran.
“Kareeen! Sini !”
“Ada apa Yah?”
“Ada apa ada apa. Dari mana saja kamu! Kerjaan kamu masih banyak di rumah!”. “Braaak!!” Pintu kamarnya tertutup kencang.
“Tuhan, tolong sadarkan ayah..” Air matanya bercucuran.
Tak lama, ponsel Kareen berdering.
“Halo. Iya Kak, ada apa?”
“Dek, selamat ya.. kamu di terima di perusahaan om Andi. sepertinya om Andi tergila-gila sama cerpenmu. Tugasnya cuma bikin cerpen aja kok. Kan hasilnya lumayan buat bayar biaya SMA kamu.”
“Haah? serius Kak?”
“Iya Dek. Oh iya, Om Andi tadi pesen. Besok dateng ke kantornya jam 9 pagi dan siapin 2 cerpen. Pesen kakak, jangan bilang ini ke ayah. Oke”
“Oke oke Kak siap! Ya udah Kak aku mau buru-buru bikin cerpennya. Daaahh.”
“Halo. Iya Kak, ada apa?”
“Dek, selamat ya.. kamu di terima di perusahaan om Andi. sepertinya om Andi tergila-gila sama cerpenmu. Tugasnya cuma bikin cerpen aja kok. Kan hasilnya lumayan buat bayar biaya SMA kamu.”
“Haah? serius Kak?”
“Iya Dek. Oh iya, Om Andi tadi pesen. Besok dateng ke kantornya jam 9 pagi dan siapin 2 cerpen. Pesen kakak, jangan bilang ini ke ayah. Oke”
“Oke oke Kak siap! Ya udah Kak aku mau buru-buru bikin cerpennya. Daaahh.”
Pagi hari…
“Mau kemana lagi kamu!”, bentak ayahnya.
“Mau ke depan, Yah.”
“Mau kemana lagi kamu!”, bentak ayahnya.
“Mau ke depan, Yah.”
Kareen kabur, dan Ia bergegas menuju kantor Om Andi.
“Permisi Om, ini cerpen yang Om pesenin kemarin. Maaf Om kalau jelek. Soalnya bikinnya buru-buru.” Kareen terkekeh.
“Iya Reen. Cerpennya bagus kok. Makasih ya.” “Oh iya Reen, minggu depan ada lomba menulis cerpen. Nanti kalau misalnya kamu menang, kamu bisa mewakili Indonesia di Inggris. gimana?”
“Iya Om. Mau banget! Nanti, Kareen bakal bikin cerpen sebaik mungkin.”
“Permisi Om, ini cerpen yang Om pesenin kemarin. Maaf Om kalau jelek. Soalnya bikinnya buru-buru.” Kareen terkekeh.
“Iya Reen. Cerpennya bagus kok. Makasih ya.” “Oh iya Reen, minggu depan ada lomba menulis cerpen. Nanti kalau misalnya kamu menang, kamu bisa mewakili Indonesia di Inggris. gimana?”
“Iya Om. Mau banget! Nanti, Kareen bakal bikin cerpen sebaik mungkin.”
Sesampainya di rumah, mata Kareen membelalak. Ia melihat ayahnya tergeletak
di teras rumah. Dengan segera ia membawa ayahnya ke rumah sakit.
“Ayah saya sakit apa, Dok?”
“Liver ayah kamu tidak berfungsi, karena terlalu banyak mengkonsumsi minuman keras.”
“Ya Tuhan.. bagaimana cara sembuhnya, Dok?”
“Caranya dengan cangkok liver. Tetapi mencari pendonor sangat susah.”
“Saya bersedia, Dok.”
“Mari ikut saya ke laboratorium”
“Ayah saya sakit apa, Dok?”
“Liver ayah kamu tidak berfungsi, karena terlalu banyak mengkonsumsi minuman keras.”
“Ya Tuhan.. bagaimana cara sembuhnya, Dok?”
“Caranya dengan cangkok liver. Tetapi mencari pendonor sangat susah.”
“Saya bersedia, Dok.”
“Mari ikut saya ke laboratorium”
Hasil laboratorium menunjukkan positif. Kareen bergegas untuk memberi kabar
Kak Farhan.
“Halo, Kak gawat! Ayah sekarang di Rumah sakit. Beliau terkena liver” katanya menangis.
“Ya Tuhan, Cobaan apa lagi? Ya udah, kakak segera ke sana.”
“Halo, Kak gawat! Ayah sekarang di Rumah sakit. Beliau terkena liver” katanya menangis.
“Ya Tuhan, Cobaan apa lagi? Ya udah, kakak segera ke sana.”
Di sela-sela menunggu Kak Farhan datang, Kareen membuat cerpen untuk
perlombaan yang di tawarkan Om Andi.
“Kakak!”
“Dek, gimana keadaan beliau sekarang?”
“Kata dokter semakin memburuk. Dan esok aku akan operasi.”
“Operasi buat apa?”
“Cangkok Liver buat Ayah”
Wajah Kak Farhan merah padam dan matanya berkaca-kaca.
“Kak titip ini buat Om Andi ya. terus yang ini buat Ayah”. Sambil menyodorkan dua buah amplop.
“Kakak!”
“Dek, gimana keadaan beliau sekarang?”
“Kata dokter semakin memburuk. Dan esok aku akan operasi.”
“Operasi buat apa?”
“Cangkok Liver buat Ayah”
Wajah Kak Farhan merah padam dan matanya berkaca-kaca.
“Kak titip ini buat Om Andi ya. terus yang ini buat Ayah”. Sambil menyodorkan dua buah amplop.
Satu minggu setelah itu…
“Kareen.. Kareen..”
“Ada apa Yah?” sahut Kak Farhan.
“Kareen mana?”
Kak Farhan memberikan amplop.
Di bacanya pesan tersebut
“Kareen.. Kareen..”
“Ada apa Yah?” sahut Kak Farhan.
“Kareen mana?”
Kak Farhan memberikan amplop.
Di bacanya pesan tersebut
Dear Ayah
Ayah.. sudah sembuh?
Sebenarnya Kareen agak marah sama Ayah, kenapa Ayah jadi seperti ini sejak Bunda meninggal? Sedangkan Ayah adalah satu-satunya harapan Kareen. Tapi Kareen gak marah lagi kok Yah..
Oh iya, Selamat ulang Tahun Ayah. Maaf, Kareen gak bisa temenin di tepat hari ulang tahun Ayah. Tapi Kareen punya hadiah untuk Ayah. Liver… Ayah.. mau kan gak akan ngulang kaya gini lagi? Ayah mau janji kan buat jaga Liver Kareen?
Makasih ayah udah baca surat Kareen. Kareen sayang Ayah.
Kareena Putri Mahardika
Ayah.. sudah sembuh?
Sebenarnya Kareen agak marah sama Ayah, kenapa Ayah jadi seperti ini sejak Bunda meninggal? Sedangkan Ayah adalah satu-satunya harapan Kareen. Tapi Kareen gak marah lagi kok Yah..
Oh iya, Selamat ulang Tahun Ayah. Maaf, Kareen gak bisa temenin di tepat hari ulang tahun Ayah. Tapi Kareen punya hadiah untuk Ayah. Liver… Ayah.. mau kan gak akan ngulang kaya gini lagi? Ayah mau janji kan buat jaga Liver Kareen?
Makasih ayah udah baca surat Kareen. Kareen sayang Ayah.
Kareena Putri Mahardika
“Ayah, Kareen memenangkan lomba cerpen dan Ia akan dikirim ke Inggris.
Tapi, Kareen sudah…”, Kak Farhan terdiam.
Air mata membasahi pipi ayah Kareen, dan seolah-olah Ia tak percaya bahwa Kareen yang melakukannya.
“Maafkan ayah Nak, sudah membuatmu menderita. Ayah janji akan menjaga yang semuanya kamu berikan.”
Kini Ayahnya merubah semua yang ia lakukan. Mungkin Kareen yang berada di alam sana bahagia melihat ayahnya tidak lagi seperi dulu.
Air mata membasahi pipi ayah Kareen, dan seolah-olah Ia tak percaya bahwa Kareen yang melakukannya.
“Maafkan ayah Nak, sudah membuatmu menderita. Ayah janji akan menjaga yang semuanya kamu berikan.”
Kini Ayahnya merubah semua yang ia lakukan. Mungkin Kareen yang berada di alam sana bahagia melihat ayahnya tidak lagi seperi dulu.
Cerpen Karangan: Retno Dini Pratiwi
Blog: blog: retnodinii.blogspot.com
Facebook: Dini Devro
Blog: blog: retnodinii.blogspot.com
Facebook: Dini Devro
PELAJARAN DARI SANG PENGEMIS TUA
Kisah
dari pengalaman seorang temanku di sekolah. Waktu itu saat pelajaran Bahasa
Indonesia, kami diperintahkan untuk menceritakan pengalaman pribadi
masing-masing apa saja terserah apa yang mau diceritakan olah kami semua. Saat
keesokan harinya tugas itu pun dikumpulkan, dan kami semua juga diperintahkan
untuk membacakannya di depan teman-teman semua.
“Tugasnya
sudah dikumpulkan semua ini?”. Kata Bu Tika yang merupakan guru Bahasa
Indonesia di kelasku bertanya kepada semua murid di dalam kelas itu.
“Sudah Bu”. Kami semua serentak menjawab pertanyaan beliau.
“Ibu mau kalian membacakan cerita kalian di depan kelas, agar teman-teman kalian tahu tentang pengalaman kalian, dan sebagai nilai tambah dalam pelajaran Ibu kali ini.
“Sudah Bu”. Kami semua serentak menjawab pertanyaan beliau.
“Ibu mau kalian membacakan cerita kalian di depan kelas, agar teman-teman kalian tahu tentang pengalaman kalian, dan sebagai nilai tambah dalam pelajaran Ibu kali ini.
Setelah
mendengar perintah tersebut kami semua pun akhirnya mempersiapkan diri untuk bercerita
di depan kelas, walaupun ada beberapa dari temanku tidak mau maju ke depan
karena malu untuk membacakannya. Tapi tetap saja demi penilaian akhirnya mereka
maju untuk menceritakan kisah mereka masing-masing.
Silih
berganti teman-temanku dipanggil untuk menceritakan kisah mereka, kamipun ikut
larut pada setiap kisah pengalaman pribadi yang diceritakan semuanya. Sampai
pada pembaca yang selanjutnya, itulah temanku gilirannya. Dia menawarkan diri
untuk bercerita tanpa dipanggil oleh Bu Tika. Pada saat dia maju ke depan kelas
dan menceritakan kisahnya, itu sangat membuatku kagum.
—
“Pada
suatu hari saya sedang menemani ibu saya berbelanja buah di sebuah toko buah di
daerah rumah saya. Hampir rutin saya berbelanja buah disana. Suatu ketika, di
sore hari saya berbelanja buah dengan ibu saya, seusai berbelanja akhirnya saya
pun pulang bersama Ibu saya. Tapi saat saya menuju ke luar toko buah tersebut,
di sudut toko buah itu terlihat seseorang sedang duduk dengan pakaian yang
tidak selayaknya dipakai, perawakan yang agak tua tubuhnya terlihat lemah dan
kelihatannya matanya itu buta.”
“Pada
akhirnya saya berniat untuk sedikit menyedekahkan uang saya, walaupun itu hanya
beberapa rupiah sisa kembalian berbelanja buah tadi, karena saya kasihan
terhadapnya dengan ikhlas dan mengaharapkan Ridho Allah saya berikanlah di atas
mangkok yang ada di depannya. Bayangkan seorang pengemis tua yang buta duduk di
pinggir toko hanya untuk mengaharap belas kasihan setiap pengunjung dan
orang-orang yang berlalu lalang disana. Dia pun terlihat senang pada pemberian
saya, dan saya juga senang bisa memberikan sedikit rejeki terhadapnya. Hal itu
selalu saya lakukan saat berbelanja ke toko buah itu.”
“Namun
pada suatu hari, dengan rasa terburu-buru saya berbelanja di toko buah itu. Kebetulan
ibu saya memerintahkan saya untuk kesana. Dengan rasa terburu-buru setelah
melakukan transaksi di dalam toko itu, keluarlah saya tanpa memberikan sedikit
rejeki saya yang biasanya saya berikan pada pengemis tua itu. Namun, ketika
saya keluar dari sana. Saya mendengar pengemis itu berkata *Bu haji kok tidak
memberikan saya uang, kenapa langsung pergi?*. kata-kata itu mebuat saya
terheran-heran, bagaimana dia tahu kalau saya berada di tempat itu sementara
matanya saja dalam keadaan buta. Akhirnya dari situ saya merasa diri saya
tertipu oleh pengemis itu, dan saya pun bergegas pulang dengan perasaan kesal,
tidak percaya dan sangat kecewa. Padahal saya sudah mempercayai pada apa yang
diderita pengemis itu, dan saya pun menjadikan semua pelajaran atas apa yang
saya alami saat itu.”.
“Tamat”.
—
SELAMA KITA MASIH
MEMANDANG LANGIT YANG SAMA
“hei”
suara Nada mengagetkanku dari lamunanku.
“hayo lagi ngapain pagi-pagi udah ngelamun di jendela, nungguin si itu yah? haha”
Pertanyaannya langsung membuatku memerah layaknya udang direbus.. yah, tapi memang benar apa yang Nada katakan. Saat ini aku berdiri di depan jendela kelas – tepatnya setiap pagi, sebelum pengajian pagi dimulai – hanya untuk melihat Ashfar kembali ke kelas usai membereskan masjid sekolah.
“hayo lagi ngapain pagi-pagi udah ngelamun di jendela, nungguin si itu yah? haha”
Pertanyaannya langsung membuatku memerah layaknya udang direbus.. yah, tapi memang benar apa yang Nada katakan. Saat ini aku berdiri di depan jendela kelas – tepatnya setiap pagi, sebelum pengajian pagi dimulai – hanya untuk melihat Ashfar kembali ke kelas usai membereskan masjid sekolah.
Siapa yang
tak kenal Ashfar, sang ketua risma yg begitu ramah, sholeh, menyenangkan dan
agamis. Dari mulai guru, staff TU, satpam sekolah, orang kantin, siswa-siwa,
sampai tukang sapu sekolah pun mengenalnya. Sebenarnya jika dilihat dari fisik,
tidak ada yang istimewa darinya, dia tidak tampan, tidak putih, juga tidak
kaya. Namun hampir di setiap kelas ada wanita yang mengaguminya. Mereka
menyukainya bukan karena fisik, lebih dari itu karena Ashfar sosok yang
mempunyai kharisma dan aura tersendiri, siapa saja yang melihatnya pasti akan
jatuh cinta padanya dengan keteduhan wajahnya.
Setelah
Nada menyambarku dengan pertanyaan tersebut aku langsung duduk di kursiku tanpa
menggubris pertanyaannya, itu membuatnya semakin antusias menggodaku. Namaku
Syifa Nursabila Galen, namun teman-teman akrab memanggilku Sabil, aku sekarang
duduk di kelas XII dan tinggal di sebuah pondok pesantren salafi di daerah
Kaloran – Serang, Banten. Kami sama-sama duduk di kelas XII Ipa 3, kami sudah
cukup lama berteman. Dari kelas X kami duduk satu meja, itu membuat aku dan
Nada semakin dekat, terlebih lagi kami memiliki banyak kesamaan hoby dan
kebetulan satu komunitas – komunitas film – . yah dialah salah satu sahabat
terbaikku, teman suka dan duka, teman curhat segala macam masalah, termasuk kekagumanku
terhadap Ashfar, pun dia tahu.
Aku
juga tak tahu persis kapan tepatnya aku mencintainya, namun seiring waktu
bejalan, cintaku padanya terus tumbuh hingga berbunga. Walaupun aku tahu, itu
hanyalah khayalanku saja. Rasanya tidak mungkin seekor rajawali nan gagah jatuh
dalam ribahan merpati yang telah patah sayapnya. Aku dan dia bagaikan langit
dan bumi, yang tidak akan pernah bertemu. Sosok lelaki sholeh idaman para
akhwat cantik nan sholehah, kader dakwah yang siap menyerukan agama-Nya ke
seluruh pelosok dunia. Sedangkan aku, perempuan biasa, ah amat biasa bahkan.
Aku tak sesholehah mereka (akhwat yang mengagumi Ashfar), tak serajin dluha
mereka, apalagi sabanding dengan mereka, sangat jauh. Namun itu semua tak
pernah menyurutkanku untuk selalu menjaga cintaku padanya.
Seperti
biasa setiap hari minggu pagi, pengajian diisi oleh pemilik pondok pesantren
yang aku tempati, abah. Yah, santri di sini biasa memanggilnya dengan sebutan
abah. Namun tak seperti biasa, pengajian hanya sampai jam 8, yang biasanya usai
jam 12 kini hanya sampai jam 8. Abah pun menyampaikan alasan kenapa pengajian
tidak diteruskan, alasannya yaitu karena katanya ada kerabat beliau yang
meninggal dunia, sehingga abah beserta keluarga harus segera berta’ziyah.
Santri-santri pun langsung menciumi tangan abah (kebiasaan yang dilakukan
santri di pondokku setelah pengajian usai) setelah membaca doa kafaratul majlis
dan bergegas meninggalkan majlis menuju kamarnya masing-masing.
Aku dan
santriwati lainnya pun segera menuju asrama kami. Sesampainya di kamar, aku
langsung meletakkan kitab dan beristirahat sejenak sebelum keluar pondok untuk
mencari makanan. Setelah kurasa sudah cukup untuk istirahat aku pun bangkit dan
berniat keluar asrama untuk mencari makanan, namun sebelum aku keluar, Indri,
santriwati yang sekamar denganku mengagetkanku. “teh sabil, handphonenya bunyi.
Apa sebaiknya tidak diangkat terlebih dahulu?!” ujar Indri. Aku pun langsung
berbalik badan dan mengangkat teleponnya, yang ternyata sahabatku, Nada yang
menelepon.
“assalamualaikum bil” terdengar suara Nada di kejauhan sana.
“wa’alaikumsalam, ada apa Da? Tumben banget jam segini udah telpon? Jawabku sambil duduk di tempat tidur.
“hari ini aku ga ada acara, aku boleh main ke pondokmu yah?” suara Nada yang memelas.
“hmm, gimana yah? Boleh deh, hehe” jawabku sambil diiringi oleh cekikikan Nada di sana yang kegirangan.
“oke deh, makasih yooo.. tunggu aku oke”
“oke, yaudah assalamualaikum”
“wa’alaikumsalam.. daaah” klik suara telpon mati.
Aku pun tidak jadi keluar karena takut Nada kesini aku tidak ada, karena teman sekamarku sebentar lagi akan muthola’ah (sorogan) di majlis bersama para senior.
“assalamualaikum bil” terdengar suara Nada di kejauhan sana.
“wa’alaikumsalam, ada apa Da? Tumben banget jam segini udah telpon? Jawabku sambil duduk di tempat tidur.
“hari ini aku ga ada acara, aku boleh main ke pondokmu yah?” suara Nada yang memelas.
“hmm, gimana yah? Boleh deh, hehe” jawabku sambil diiringi oleh cekikikan Nada di sana yang kegirangan.
“oke deh, makasih yooo.. tunggu aku oke”
“oke, yaudah assalamualaikum”
“wa’alaikumsalam.. daaah” klik suara telpon mati.
Aku pun tidak jadi keluar karena takut Nada kesini aku tidak ada, karena teman sekamarku sebentar lagi akan muthola’ah (sorogan) di majlis bersama para senior.
Tak
lama kemudian Nada pun datang dan langsung memelukku. Aku persilahkan dia masuk
dan kami langsung menghambur di tempat tidur. Kita pun bercana-canda,
cerita-cerita, walaupun sesekali dia mengingatkanku pada Ashfar lewat
banyolannya. Tiba-tiba saja Nada mulai mengubah nada suaranya menjadi serius,
yang membuatku keheranan dengan tingkahnya. Aku pun langsung menanyakan
padannya kenapa dia begitu. Tanpa basa basi lagi dia langsung memberitahukanku
sesuatu yang membuatku tidak percaya, seakan jantungku berhenti berdetak, aku
langsung kaku, lemas rasanya, pikiranku entah pergi kemana.
Nada
berkali-kali mengagetkanku, namun aku masih tak bereaksi. Untuk kesekian
kalinya dia mengagetkanku yang akhirnya aku sadar. Aku sungguh tak percaya apa
yang diucapkan Nada. Akupun berusaha mencerna kata demi kata yang diucapkan
Nada padaku. Nada mengatakan padaku bahwa sebenarnya Ashfar juga memiliki rasa yang
sama padaku, kabar ini dia peroleh dari sepupunya yang kebetulan menjadi teman
baik Ashfar. Aku masih tak percaya, namun Nada tetap meyakinkanku sampai
akhirnya aku pun percaya.
Setelah
cerita Nada tempo hari tentang Ashfar, aku semakin malu jika bertemu dengan
Ashfar. Ini membuatku semakin tak konsentrasi, apalagi sebentar lagi ujian
Nasional.. namun aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap fokus pada ujianku.
Hari-hari
pun berlalu, hingga ujian pun sudah di depan mata sehingga kami siswa kelas XII
sudah disibukkan dengan berbagai latihan dan tryout, kegiatan-kegiatan ini yang
membuat aku dan Ashfar sering sekali bertemu, bahkan kami pernah berpapasan
langsung, yang membuatku semakin kelu, yang akhirnya kami pun berlalu tanpa
sepatah sapaan. Yah, walaupun aku dan Ashfar sudah saling mengetahui perasaan
masing-masing, tapi Ashfar tetap diam, dan itu yang membuatku semakin tetap
mempertahankannya. Ujian pun kami jalani dengan lancar dan Alhamdulillah dengan
hasil yang memuaskan, sehingga sampailah kami pada acara perpisahan yang akan
dilaksanakan besok.
Malam
semakin larut, namun aku belum bisa memejamkan mataku seperti insan di
sekelilingku. Bukan karena aku memikirkan perpisahan besok, bukan juga tentang
kemana aku harus melanjutkan studi setelah lulus, juga bukan tentang
kesedihanku akan meninggalkan sekolahku yang tercinta ini. Tapi aku memikirkan
sesuatu yang seharusnya tidak aku fikirkan. Aku memikirkan Ashfar, bagaimana
kelanjutan hubunganku dengan Ashfar. Dari tiga tahun yang lalu aku menyimpan
perasaan ini dengan rapat sampai aku lulus dia belum juga berani menyapaku.
Lalu bagaimana jika setelah ini aku tidak bertemu lagi dengannya. Entahlah, aku
pun tertidur dengan sendirinya.
Pagi
ini sekolahku sangat ramai. Bagaimana tidak? Kesempatan perpisahan ini
dimanfaatkan oleh para alumni untuk reunian atau hanya sekedar temu kangen.
Semuanya bahagia, aku pun demikian. Tapi disatu sisi aku tidak bisa
mengekspresikan kebahagiaan atas kelulusanku, karena bagaimanapun juga Ashfar
tetap mengisi pikiranku dari semalam hingga detik ini. Ku biarkan mata ini
menjelajah seisi aula untuk menemukan seseorang yang sangat aku rindu. Namun
tetap saja aku tidak menemukannya. Hingga akhirnya acara selesai, tapi aku
tetap tidak sempat bertemu dengannya. Sepertinya dia sengaja menghindar dariku.
Aku langsung menuju kamar mandi untuk berganti pakaian dan langsung menangis di
depan cermin yang sedari tadi aku tahan. Aku sedih, sangat sedih. Hingga di
acara terakhir pun aku tidak bisa bertemu dengannya. Aku pun berniat untuk langsung
pulang setelah berganti baju.
Selesai
ganti baju aku bergegas pulang, hingga di depan pos satpam aku dikagetkan oleh
suara ikhwan yang aku kenal baik. Dhika memanggilku. Aku pun menoleh. Setelah
ku jawab salam darinya akupun langsung menanyakan kenapa dia memanggilku. Dia
pun mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Belum sempat
Dhika selesai mengucapkannya, seseorang sudah keluar dari pos satpam dengan
menyelipkan untaian senyuman yang membuatku melayang. Tepat sekali. Ashfarlah
yang keluar.
“assalamu’alaikum ukh” suaranya yang tiba-tiba membuatku hampir kehilangan kata-kata.
“wa.. wa’alaikumsalam” jawabku yang benar-benar tidak bisa menyembunyikan kegugupanku.
“afwan, ini nomor ponsel antum?” tanyanya sambil menunjukkan nomor ponsel yang ada di atas kertas.
“na’am itu nomor ana” jawabku. “bolehkah aku menyimpannya?” pintanya dengan nada yang lembut.. aku pun mengiyakannya. Dan setelah itu berakhirlah percakapan kami. Dia memohon diri untuk pulang duluan begitupun aku yang segera pulang dengan hati yang berbunga-bunga.. selama aku mengenalnya, tak pernah sekalipun aku bersua dengannya, dan hari ini, Oh My Allah..
“assalamu’alaikum ukh” suaranya yang tiba-tiba membuatku hampir kehilangan kata-kata.
“wa.. wa’alaikumsalam” jawabku yang benar-benar tidak bisa menyembunyikan kegugupanku.
“afwan, ini nomor ponsel antum?” tanyanya sambil menunjukkan nomor ponsel yang ada di atas kertas.
“na’am itu nomor ana” jawabku. “bolehkah aku menyimpannya?” pintanya dengan nada yang lembut.. aku pun mengiyakannya. Dan setelah itu berakhirlah percakapan kami. Dia memohon diri untuk pulang duluan begitupun aku yang segera pulang dengan hati yang berbunga-bunga.. selama aku mengenalnya, tak pernah sekalipun aku bersua dengannya, dan hari ini, Oh My Allah..
Hari
demi hari, minggupun berganti minggu, namun belum juga dia menghubungiku. Aku
hampir gila menunggu kabar darinya. Karena setelah lulus aku tidak pernah lagi
bertemu dengannya dan aku pun tak berani untuk menanyakan kabarnya pada
sahabatnya. Di satu sisi aku sedikit bahagia dengan kabar yang aku peroleh,
bahwa aku sudah diterima di salah satu perguruan tinggi negeri Islam di
Bandung. Namun itu pun sekaligus membuatku tersenyum kecut, karena harapanku
padanya semakin lenyap. Beberapa minggu lagi aku harus meninggalkan tanah
lahirku ini, Banten, untuk tholabul ‘ilmi di tanah tetangga. Aku semakin tak
menentu, aku belum mendengar kabar darinya. Jangankan tahu dia kuliah dimana,
keberadaanya saja aku tak tahu.
Besok
siang aku berangkat ke Bandung, namun kabar darinya belum juga sampai di
telingaku. Aku pun sudah pasrah, menyerahkan seluruhnya pada sang Maha Cinta
yang tiada pernah terputus cinta-Nya. Setelah semua keperluan dan pakaianku
sudah tersimpan di koper yang besok akan kubawa. Aku langsung merebahkan
tubuhku di tempat yang mungil namun cukup nyaman bagiku. Baru saja aku akan
memejamkan mata tiba-tiba ponselku berdering, langsung aku ambil dan ternyata
ada pesan yang cukup panjang dari nomor yang tidak kukenal, kurang lebih
seperti ini bunyi pesannya;
“assalamu’alaikum. Semoga Allah tetap melindungi kita dalam lindungan-Nya aamiin. Ukh, ini ana Ashfar. ‘afwan ana baru menghubungi antum sekarang. Bagaimana kabar antum? Ana harap kabar antum baik, ana disini Alhamdulillah baik-baik saja. Selamat, ana dengar antum sudah diterima di PTN yang antum mau, semoga semuanya dimudahkan. Syukron atas doa-doanya, Alhamdulillah ana diterima di universitas Al-Azhar Cairo – Mesir, dua bulan kedepan ana berangkat dan besok insyaAllah tasyakurannya dengan teman-teman sebelum mereka berangkat ke kota PTNnya masing-masing. Ana sangat berharap kedatangan antum besok di kediaman ana jam 10.. jazakallahu khoiron katsiron”.
Degg.. lagi-lagi perasaanku tak menentu. Aku berulang-ulang membaca pesan itu, tetap saja isinya sama. Aku bangga padanya, namun aku tak bisa menolak kenyataan bahwa dengan demikian kami semakin jauh, apalagi di negri orang, benua yang berbeda. Aku pun langsung menemui ibuku untuk menunjukkan pesan itu pada beliau, aku ceritakan semua isi hatiku terhadap Ashfar pada ibu. setelah ibu membacanya, kemudian ibu memegang wajahku dan mengusap butiran bening di sudut mataku yang sedari tadi turun, dan mengatakan bahwa aku tidak diizinkan untuk menghadirinya karena aku harus tetap berangkat ke Bandung, dengan tersenyum dan tetap tenang ibu berkata “Allah tidak tidur, apa yang ada di hatimu pun Dia tahu. Jika memang dia terbaik untukmu tentu saja Allah akan mendekatkan kalian, di manapun kalian berada dan sebaliknya sedekat apapun kalian jika Allah tidak menghendakinya maka akan terpisah begitu saja. Yakinlah jodoh tak akan kemana, jodoh tak akan salah alamat”. Ibu menyelesaikan nasehatnya dengan memelukku.
“assalamu’alaikum. Semoga Allah tetap melindungi kita dalam lindungan-Nya aamiin. Ukh, ini ana Ashfar. ‘afwan ana baru menghubungi antum sekarang. Bagaimana kabar antum? Ana harap kabar antum baik, ana disini Alhamdulillah baik-baik saja. Selamat, ana dengar antum sudah diterima di PTN yang antum mau, semoga semuanya dimudahkan. Syukron atas doa-doanya, Alhamdulillah ana diterima di universitas Al-Azhar Cairo – Mesir, dua bulan kedepan ana berangkat dan besok insyaAllah tasyakurannya dengan teman-teman sebelum mereka berangkat ke kota PTNnya masing-masing. Ana sangat berharap kedatangan antum besok di kediaman ana jam 10.. jazakallahu khoiron katsiron”.
Degg.. lagi-lagi perasaanku tak menentu. Aku berulang-ulang membaca pesan itu, tetap saja isinya sama. Aku bangga padanya, namun aku tak bisa menolak kenyataan bahwa dengan demikian kami semakin jauh, apalagi di negri orang, benua yang berbeda. Aku pun langsung menemui ibuku untuk menunjukkan pesan itu pada beliau, aku ceritakan semua isi hatiku terhadap Ashfar pada ibu. setelah ibu membacanya, kemudian ibu memegang wajahku dan mengusap butiran bening di sudut mataku yang sedari tadi turun, dan mengatakan bahwa aku tidak diizinkan untuk menghadirinya karena aku harus tetap berangkat ke Bandung, dengan tersenyum dan tetap tenang ibu berkata “Allah tidak tidur, apa yang ada di hatimu pun Dia tahu. Jika memang dia terbaik untukmu tentu saja Allah akan mendekatkan kalian, di manapun kalian berada dan sebaliknya sedekat apapun kalian jika Allah tidak menghendakinya maka akan terpisah begitu saja. Yakinlah jodoh tak akan kemana, jodoh tak akan salah alamat”. Ibu menyelesaikan nasehatnya dengan memelukku.
Ibu
mengantarku ke tempat tidur. Setelah ibu keluar, aku langsung membalas
pesannya, aku katakan permohonan maafku padanya bahwa aku tidak bisa menghadiri
tasyakurannya karena tidak diizinkan karna keberangkatanku ke Bandung tidak
bisa ditunda. Beberapa menit kemudian aku mendapat balasan pesan darinya.
“Alhamdulillah
antum baik-baik saja. Laa ba’sa ukhti tidak datang, asalkan ukhti berkenan
untuk mendoakan ana agar dilancarkan. Memang benar apa yang dikatakan ibu
ukhti, tidak harus dipaksakan. Namun ukhti harus tetap percaya, selama kita
masih memandang langit yang sama perasaan ana akan tetap seperti semula, dan
kita tetap masih di bumi Allah, kita tidak pernah jauh. Semoga Allah
mempertemukan kita dalam kesempatan yang di ridloi-Nya. Tunggu ana kembali,
tunggu ana menjemput antum menjadi “huurun” ana”. Air mataku pun terus mengalir
membaca pesan itu. Yah memang benar, kita masih memandang langit yang sama.
Tepat
pukul 10 siang aku berangkat ke Bandung. Selama aku di sini, aku tetap
istiqomah untuk menjaga hatiku hanya untuk Ashfar. Sekarang aku sudah dua tahun
disini dan selama itu aku tetap menjaga hatiku untuknya walaupun sejak saat itu
tak ada lagi kabar, bahkan nomor ponselnya pun sudah tidak aktif lagi, namun
aku tetap percaya dan menyerahkan semuanya kepada Allah yang walaupun aku tak
tahu kapan aku bisa dipertemukan kembali dengan cinta dalam diamku.. selama
kita masih memandang langit yang sama..
DOKTER YANG
DATANG TERLAMBAT
Ruang
tunggu kecil yang terletak di bagian dalam sebuah apotik itu dipenuhi pasien.
Mereka duduk di kursi-kursi dan memegang selembar kecil kertas yang bertuliskan
nomor antrian dengan wajah gusar. Seorang lelaki tua yang ditemani anak
lelakinya duduk dengan mata terpejam dan kepala menyandar ke dinding. Dadanya
naik turun dengan tempo cepat. Sementara di sisi lain, seorang wanita paruh
baya mengobrol dengan pasien lain sambil sesekali melirik jam tangannya.
Seorang pemuda berusia dua puluhan berjalan mondar mandir. Kelihatannya setiap
orang dibuat kesal dan marah. Asisten dokter, seorang lelaki berbadan gendut
dibungkus kemeja hijau terus menerus mengucapkan lelucon bersama seorang pasien
bertubuh kurus. Mereka tampak akrab. Tawa mereka memenuhi ruangan yang pengap
itu.
Dua jam
berlalu, sang dokter belum juga menunjukan batang hidungnya. Pemuda itu tak
mampu lagi menahan gejolak emosinya.
“Sudah hampir dua jam aku di tempat ini, kemana dokter itu belum juga datang?” Serunya. Suaranya menyita perhatian orang-orang yang berada di situ.
“Aku juga.” Sahut seseorang. “Aku datang kemari ketika belum ada seorang pun. Seharusnya dokter itu tiba satu setengah jam yang lalu.”
“Mungkin ia tengah terjebak macet.” Sahut seorang ibu-ibu yang duduk di pojok ruangan.
“Sudah hampir dua jam aku di tempat ini, kemana dokter itu belum juga datang?” Serunya. Suaranya menyita perhatian orang-orang yang berada di situ.
“Aku juga.” Sahut seseorang. “Aku datang kemari ketika belum ada seorang pun. Seharusnya dokter itu tiba satu setengah jam yang lalu.”
“Mungkin ia tengah terjebak macet.” Sahut seorang ibu-ibu yang duduk di pojok ruangan.
Asisten
dokter itu bangkit dari duduknya. Ia meninggalkan meja kecil yang dipenuhi
daftar nama pengunjung hari itu. Tanpa mengacuhkan komentar para pasien, ia
berjalan keluar lalu menyalakan rok*k. Ia tampak tak peduli dengan sebagian
pasien yang menatap marah. Ia hanya tak peduli. Pemuda tadi mengekor, ia butuh
udara segar karena terlalu lama dalam ruangan itu membuat dadanya sesak dan
pikirannya panas.
Si
asisten merok*k sambil memandangi jalan raya yang penuh oleh kendaraan yang
melintas. Malam cerah seperti ini biasanya banyak anak-anak muda tanggung melakukan
balapan liar. Terkadang timbul korban jiwa. Dasar bodoh, gumam si asisten.
Pria
kurus tadi menyusul. Ia mengencangkan jaket tebalnya dan melihat sekeliling.
Matanya yang sayu tampak buram di bawah sinar lampu penerangan jalan yang
redup. Kedua tangannya dilipat di dada.
“Apa dokter itu baik-baik saja?” kata pria kurus itu.
“Tentu saja.” sahut si asisten dengan pasti.
“Ku dengar ia tengah terlibat masalah. Benar begitu?”
Si asisten terlihat tidak enak dengan perkataan itu. Ia berusaha menutupi. Si pemuda mendengarkan saja tanpa memberikan komentar.
“Aku tak tahu. Ia tak berbicara hal semacam itu selain pekerjaan”
“Memangnya masalah apa?” ujar si pemuda penasaran.
“Sudahlah, jangan menyebar gosip.” Sahut si asisten pada pria kurus.
“Tidak. Aku tak bermaksud begitu. Hanya saja perkara itu mulai merebak dan meresahkan sebagian besar pekerja di rumah sakit.”
“Memangnya masalah apa?” kata si pemuda sekali lagi.
Si asisten mendesah. Ia terbatuk-batuk. Namun seperti dibuat-buat. Ia tak ingin membicarakan hal seperti itu lagi. Baginya bekerja di situ saja sudah cukup membahagiakan. Ia tak ingin menjadi penganggur yang menjadi cemoohan para tetangga. Sudah cukup baginya melewatkan hari-hari yang membosankan dan membuat pikirannya tertekan. Tapi ia harus menjaga profesionalismenya sebagai asisten dokter. Max tersenyum seperti mengejek. Ia memang sudah berteman lama dengan si asisten yang hanya mampu bekerja sampai disitu saja. Sedangkan Max bekerja di sebuah bank di pusat kota. Ia menjadi bujangan tua meski masih mampu menikmati hidupnya dengan mengunjungi bar-bar yang dipenuhi wanita cantik dan orang-orang yang putus asa; menghamburkan uang demi sebuah kebahagiaan yang tak kan pernah bisa ia pahami.. Dengan begitu, ia menghibur dirinya. Wajahnya yang tirus tampak lelah dan pucat.
“Apa dokter itu baik-baik saja?” kata pria kurus itu.
“Tentu saja.” sahut si asisten dengan pasti.
“Ku dengar ia tengah terlibat masalah. Benar begitu?”
Si asisten terlihat tidak enak dengan perkataan itu. Ia berusaha menutupi. Si pemuda mendengarkan saja tanpa memberikan komentar.
“Aku tak tahu. Ia tak berbicara hal semacam itu selain pekerjaan”
“Memangnya masalah apa?” ujar si pemuda penasaran.
“Sudahlah, jangan menyebar gosip.” Sahut si asisten pada pria kurus.
“Tidak. Aku tak bermaksud begitu. Hanya saja perkara itu mulai merebak dan meresahkan sebagian besar pekerja di rumah sakit.”
“Memangnya masalah apa?” kata si pemuda sekali lagi.
Si asisten mendesah. Ia terbatuk-batuk. Namun seperti dibuat-buat. Ia tak ingin membicarakan hal seperti itu lagi. Baginya bekerja di situ saja sudah cukup membahagiakan. Ia tak ingin menjadi penganggur yang menjadi cemoohan para tetangga. Sudah cukup baginya melewatkan hari-hari yang membosankan dan membuat pikirannya tertekan. Tapi ia harus menjaga profesionalismenya sebagai asisten dokter. Max tersenyum seperti mengejek. Ia memang sudah berteman lama dengan si asisten yang hanya mampu bekerja sampai disitu saja. Sedangkan Max bekerja di sebuah bank di pusat kota. Ia menjadi bujangan tua meski masih mampu menikmati hidupnya dengan mengunjungi bar-bar yang dipenuhi wanita cantik dan orang-orang yang putus asa; menghamburkan uang demi sebuah kebahagiaan yang tak kan pernah bisa ia pahami.. Dengan begitu, ia menghibur dirinya. Wajahnya yang tirus tampak lelah dan pucat.
“Gadis
itu sepantasnya jadi anaknya.” Kata Max.
“Ya, tapi ku akui, dokter itu punya pesona yang tak biasa. Tampan dan kaya, dan belum menikah.”
“Ya, dan kini semua orang membicarakan mereka dan moralitas dan kau mulai membela dokter malang ini.”
“Persetan. Orang-orang munafik yang senang mencari kesalahan orang lain. Aku benci orang-orang seperti itu. Sebenarnya tak ada yang salah. Tapi pendapat orang bisa berbeda-beda.” Ujar si asisten.
“Ya, persetan.” Sambar si pemuda sambil tertawa.
Pria kurus dan asisten itu menatap tajam si pemuda. Mereka tampak tidak senang sehingga pemuda itu menyesali perkataannya.
“Maaf.” Katanya kemudian. “Mungkin sebaiknya aku masuk ke dalam dan menunggu.”
“Sebaiknya begitu, anak muda.” Kata si asisten.
“Ya, tapi ku akui, dokter itu punya pesona yang tak biasa. Tampan dan kaya, dan belum menikah.”
“Ya, dan kini semua orang membicarakan mereka dan moralitas dan kau mulai membela dokter malang ini.”
“Persetan. Orang-orang munafik yang senang mencari kesalahan orang lain. Aku benci orang-orang seperti itu. Sebenarnya tak ada yang salah. Tapi pendapat orang bisa berbeda-beda.” Ujar si asisten.
“Ya, persetan.” Sambar si pemuda sambil tertawa.
Pria kurus dan asisten itu menatap tajam si pemuda. Mereka tampak tidak senang sehingga pemuda itu menyesali perkataannya.
“Maaf.” Katanya kemudian. “Mungkin sebaiknya aku masuk ke dalam dan menunggu.”
“Sebaiknya begitu, anak muda.” Kata si asisten.
Pemuda
itu berbalik dan berjalan dengan wajah tertunduk menuju deretan kursi di ruang
tunggu. Sebelum duduk, ia memandang sekali lagi ke arah pria kurus dan si
asisten, lalu menjatuhkan pandangannya ke lantai berubin putih.
“Sudahlah, Max. Tak ada gunanya membicarakan urusan pribadi orang lain.”
“Aku tahu. Masalahnya, gadis ini keluarga dekatku, Jon. Aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya.”
“Gadis itu sendiri bagaimana? Maksudku, apakah ia terlihat seperti tertekan dengan pemberitaan mengenai hal itu?”
“Tentu saja. Kedua orang tuanya bahkan marah besar. Mereka memintaku untuk menasihatinya.”
Si asisten membisu sesaat. Ia menyalakan lagi rok*knya.
“Harusnya, kalau dia merasa malu, ya jangan dilakukan. Lantas, sudah kau temui gadis itu?”
“Belum. Aku tak tahu apakah harus menemuinya atau tidak.”
“Kenapa memangnya?”
“Menurutku, sia-sia saja. Dia ‘kan sudah dewasa.”
“Ah, keluarga macam apa kau ini.”
“Bukankah kalau kedua orang tuanya peduli, mereka yang mesti datang kemari dan mengatakannya secara langsung?”
“Kau benar. Tapi setidaknya kau menunjukan tanggung jawabmu sebagai paman yang baik.”
“Ah, sudahlah Jon. Menurutmu, dokter itu bisa dipercaya? Ataukah sama halnya dengan playb*y murahan yang bersembunyi dibalik kekayaan yang mereka miliki?”
“Aku tak tahu pasti, Max. Aku tak terlalu mengenal orang itu. Ia tak banyak bicara. Bahkan aku tak tahu dimana ia tinggal.”
“Ya, ampun. Memangnya sudah berapa lama kau bekerja dengannya?”
“Hampir setahun.”
“Aneh juga kau tidak mengenalnya.”
“Ya, separuh koleganya mengakui tabir misterius yang menyelimuti pribadi dokter ini.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Aku mendengar mereka membicarakannya.”
“Sudahlah, Max. Tak ada gunanya membicarakan urusan pribadi orang lain.”
“Aku tahu. Masalahnya, gadis ini keluarga dekatku, Jon. Aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya.”
“Gadis itu sendiri bagaimana? Maksudku, apakah ia terlihat seperti tertekan dengan pemberitaan mengenai hal itu?”
“Tentu saja. Kedua orang tuanya bahkan marah besar. Mereka memintaku untuk menasihatinya.”
Si asisten membisu sesaat. Ia menyalakan lagi rok*knya.
“Harusnya, kalau dia merasa malu, ya jangan dilakukan. Lantas, sudah kau temui gadis itu?”
“Belum. Aku tak tahu apakah harus menemuinya atau tidak.”
“Kenapa memangnya?”
“Menurutku, sia-sia saja. Dia ‘kan sudah dewasa.”
“Ah, keluarga macam apa kau ini.”
“Bukankah kalau kedua orang tuanya peduli, mereka yang mesti datang kemari dan mengatakannya secara langsung?”
“Kau benar. Tapi setidaknya kau menunjukan tanggung jawabmu sebagai paman yang baik.”
“Ah, sudahlah Jon. Menurutmu, dokter itu bisa dipercaya? Ataukah sama halnya dengan playb*y murahan yang bersembunyi dibalik kekayaan yang mereka miliki?”
“Aku tak tahu pasti, Max. Aku tak terlalu mengenal orang itu. Ia tak banyak bicara. Bahkan aku tak tahu dimana ia tinggal.”
“Ya, ampun. Memangnya sudah berapa lama kau bekerja dengannya?”
“Hampir setahun.”
“Aneh juga kau tidak mengenalnya.”
“Ya, separuh koleganya mengakui tabir misterius yang menyelimuti pribadi dokter ini.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Aku mendengar mereka membicarakannya.”
Si
asisten hendak mengatakan sesuatu namun urung dilakukan ketika sebuah mobil
Avanza G warna hitam berhenti tepat di depan apotik. Sesosok pria berusia
sekitar 50-an muncul dari dalam mobil yang mengkilap dan mulus. Pakaian putih
dan stetoskop yang melingkar di lehernya dan tas jinjing berbentuk persegi di
tangan kanannya menandakan bahwa ia seorang dokter. Badannya tegap tinggi
dengan langkah besar meski rambutnya mulai memutih. Matanya redup dan ia tampak
ragu-ragu. Ia melewati si asisten dan pria kurus tanpa berkata.
Si
asisten segera kembali ke meja tulisnya meninggalkan pria kurus. Dokter itu
membisikan sesuatu padanya. Si asisten mengangguk-angguk sambil melirik ke arah
pria kurus. Kemudian, sang dokter masuk ke dalam ruangan pemeriksaan. Si pemuda
pun bergegas menyusul ke dalam. Tampaknya, malam ini akan sangat sibuk.
Cerpen
Karangan: Patrick Andromeda
Facebook: Patrick Andromeda
Facebook: Patrick Andromeda
Comments
Post a Comment