Kumpulan cerpen singkat


Terima kasihku
“Ayo Adi, bangun-bangun”, kata ibu.
“Adi masih ngantuk Bu”, jawab Adi dengan nada malas.
“Sekarang sudah pukul 7 Adi!”, kata ibu setengah marah.
Sontak aku terkejut. Mataku yang masih ngantuk sekarang menyala 100 watt. Langsung aku melompat dari tempat tidurku dan lari terbirit-birit ke kamar mandi. Byurrrrr… bunyi air yang ku timba. Tampa pamit ke ibu aku langsung mengayuh sepeda ku ke sekolah.
Namun apa daya, setibanya di sekolah bel tanda masuk sudah lama berbunyi. Ah!, sialnya nasibku. Ternyata nasib sialku masih berlanjut. Sekarang jadwal Pak Amin, guru paling horor mengajar di kelasku. Kalau terlambat pasti ujung-ujungnya membersihkan WC. WC itu terkenal dengan bau pesingnya yang pekat. Benar saja pak Amin sedang mengajar di kelas ku.
“Kenapa kamu terlambat”, Tanya pak Amin dengan wajah sangar.
“S…s…s, saya terlambat Pak”, jawabku ketakutan.
“Memangnya jam berapa matahari terbit di rumahmu?”, Tanya pak Amin dengan guyonan sangarnya.
Guyonan pak Amin membuat seantero kelas tertawa.
“Ha..ha..ha..ha”, tawa temanku.
“Diam!, siapa yang suruh kalian tertawa.
Sontak kelas menjadi hening.
“Baik Adi, sekarang kamu keluar dan bersihkan WC itu”, kata pak Amin sambil menunjuk ke WC di sudut sekolah.
“Baik Pak”, jawabku pasrah.
Setelah membersihkan WC, aku kembali ke kelas. Pada saat itu Pak Amin sedang membagikan hasil ulangan minggu lalu. Bisa kutebak nilaiku pasti rendah. Ternyata dugaanku benar, nilaiku hanya 50. Nilai ulanganku sudah terlalu banyak rendah, sehingga mempertipis harapanku untuk naik ke kelas IX. Apalagi ujian kenaikan kelas tinggal beberapa minggu lagi.
Nilaiku tidak pernah memuaskan, seringkali jalan di tempat. Tiap semester aku sering menjadi penghuni juru kunci di kelasku. Aku ingin nilaiku naik, tapi aku terlalu malas untuk berusaha. Naik ke kelas VIII saja aku sudah syukur, itu pun dengan percobaan, apalagi untuk naik ke kelas IX, bukan perkara mudah. Jika nilai dan prilaku tidak mendukung resikonya ya tinggal kelas.
Senin pagi setelah upacara bendera, aku dipanggil ke ruang BK.
“Adi, kamu dipanggil ke ruang BK”, kata Rian
“Ya, aku segera ke sana”, jawabku
Ruang BK bagaimana rupanya?, pikirku. Selama aku sekolah di sini aku belum pernah masuk ke ruang BK. Kata temanku ruang BK mirip ruang introgasi, di sana dihujani dengan puluhan pertanyaan. Namun tidak sedikit yang menyebutkan ruang BK itu menyenangkan karena bisa konsultasi dan curhat.
Akhirnya aku sampai di ruang BK. Tempatnya sederhana, hanya sebuah ruangan di samping kantor guru.
“Assalamua’laikum”, kataku.
“Waa’laikumussalam”, terdengar jawaban salam dari dalam ruangan
Aneh sekali itu bukan suara Bu Ami, guru BK. Suaranya berat seperti suara laki-laki
“Ayo masuk, Adi”
Alangkah terkejutnya aku ternyata ayah. Kenapa ayah ada di sini, bukankah beliau sedang dinas di Jakarta untuk beberapa tahun ke depan?. Oh, aku lupa kemarin wali kelas ku memberikan surat panggilan yang kesekian kalinya kepada ibuku. Ini dikarenakan nilaiku terus menurun dan tidak ada peningkatan. Pasti isi surat itu sudah samai ke telinga ayah sehingga ia sengaja meninggalkan pekerjaannya untuk memenuhi undangan tersebut.
Bahagia rasanya aku bertemu dengan ayah, sudah lama aku tak bertemu. Biasanya ayah hanya pulang ketika Idul Fitri dan Idul Adha. Bukan pelukan hangat seorang ayah yang kudapat namun sebuah tamparan tangan kiri yang mendarat di pipiku.
“Sakit Adi”, tanya ayah
“Sakit Yah”, jawabku sambil mengusap pipiku yang kemerahan
“Tamparan ayah tadi tak lebih sakitnya dari beratnya perjuangan pahlawan masa lalu”, kata ayah dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau pejuang masa lalu tidak berusah dengan segenap kemampuannya apakah kita bisa merdeka”, Tanya ayah kembali padaku.
“Tidak Yah”, jawabku.
“Sekarang apa tugasmu dengan kemerdekaan yang telah kita raih”?
“Mengisi dan mempertahankannya”
“Sekarang apakah kamu tahu bagaimana cara mengisi dan memepertahankan kemerdekaan ini?”
“Ti.. tidak Yah”
“Sekarang ayah minta tolong rajinlah belajar Adi, demi ayah dan demi ibu pertiwi agar tanah ini tidak kembali di jajah”, kata ayah menasehatiku.
“Baik Yah”, jawabku tegas
“Oh ya, ayah nanti tidak pulang, katakan pada ibu ya”
“Ya Ayah”
Ayah tahu sekali cara membangkitkan semangatku. Kalau di kaitkan dengan perjuangan rasa nasionalismeku langsung terbakar. Cara ayah di ruang BK sama Bung Tomo menggelorakan semangat arek-arek Suroboyo untuk melawan penjajah
Sejak kejadian itu kehidupanku langsung berubah 180 derajat. Aku sekarang menjelma menjadi anak yang super rajin. Tak ada waktu luang yang ku buang sia-sia. Semuanya ku habiskan untuk belajar mempersiapkan ujian semester yang makin mendekat
Akhirnya ujian yang menjadi momok bagiku datang. Aku cukup percaya diri maenghadapi ujian karena aku sudah mempersiapkan semua amunisi untuk ujian. Setelah seminggu ujian akhirnya selesai. Sekarang tinggal melaksanakan classmeeting
Setelah seminggu pembagian rapor datang. Aku sangat takut kalau-kalau aku tidak naik kelas. Tenyata yang menerima rapor pertama adalah aku. Bu Emi, wali kelasku menyodorkan rapor kepadaku. Ku buka pelan-pelan raporku. Isinya hitam semua, tapi bukan hitam raksasa. Alangkah bahagianya aku ketika melihat kata “naik ke kelas IX”. Ayah pasti bangga melihatnya.
Akupun pulang dengan perasaan yang berbunga-bunga. Ibu pasti senang. Namun ketika aku tiba, rumah ternyata ter kunci. Tiba-tiba tetanggaku Bu Tuti datang.
“Adi, ibumu ke rumah sakit, katanya ayahmu sedang dirawat”, kata bu Tuti.
“Ya Bu, ayah dirawat di mana Bu?”, Tanya ku kepada bu Tuti.
“Di Rumah Sakit Yarsi, ruangan IVB”, jawab bu Tuti.
“Terima kasih Bu”
“Sama-sama”.
Segera aku ke rumah sakit. Setahuku ayah memeng kurang sehat belakangan ini. Mungkin kebiasaan buruknya, merokok telah berdampak ke paru-parunya. Tapi buka kah ayah masih bekerja di Jakarta? Mungkin ayah memilih untuk pulang dan dirawat di rumah sakit di dekat rumah.
Akhirnya aku sampai di ruang rawat ayah. Keadan ayah sangat lemah. Ia harus memakai infus dan alat bantu pernapasan.
“Yah, aku naik kelas”, kataku bahagia.
“Oh, benarkah Alhamdulillah”, jawab ayah dengan nada lemah
“Adi ayah mau pergi, rajin-rajinlah belajar, jaga dirimu baik-baik”, ayah melanjutkan permbicaraannya.
“Tapi pergi ke mana Yah”, tayaku heran.
Tidak ada jawaban dari ayah, ayah hanya diam. Lalu terdengar ucapan syahadat dari ayah dan beliau menghembuskan nafas terakhirnya.
Sontak aku dan ibu menangis, aku merasa tidak ikhlas dengan kepergian ayah, namun biarlah ayah pergi. Itu sudah ketentuan Allah. Ternyata ayah sudah tidak kuat melawan penyakitnya.
“Selamat jalan ayah, semoga tenang di alam sana dan terima kasih, TERIMAKASIH”, kata ku kepada jasad ayah yang sudah tak bernyawa.
Cerpen Karangan: Farhan Ramadhan









Untuk AyahSepintas Kareen melewati rumah itu. Matanya berbinar ketika sesosok bidadari cantik tepat di depan rumah tersebut. Di ingat sosok bundanya yang telah pergi 3 tahun lalu.
“Bunda.. sayangnya itu hanya khayalanku.” Batinnya.
Di rumah…
“Kareeen! Sini !”
“Ada apa Yah?”
“Ada apa ada apa. Dari mana saja kamu! Kerjaan kamu masih banyak di rumah!”. “Braaak!!” Pintu kamarnya tertutup kencang.
“Tuhan, tolong sadarkan ayah..” Air matanya bercucuran.
Tak lama, ponsel Kareen berdering.
“Halo. Iya Kak, ada apa?”
“Dek, selamat ya.. kamu di terima di perusahaan om Andi. sepertinya om Andi tergila-gila sama cerpenmu. Tugasnya cuma bikin cerpen aja kok. Kan hasilnya lumayan buat bayar biaya SMA kamu.”
“Haah? serius Kak?”
“Iya Dek. Oh iya, Om Andi tadi pesen. Besok dateng ke kantornya jam 9 pagi dan siapin 2 cerpen. Pesen kakak, jangan bilang ini ke ayah. Oke”
“Oke oke Kak siap! Ya udah Kak aku mau buru-buru bikin cerpennya. Daaahh.”
Pagi hari…
“Mau kemana lagi kamu!”, bentak ayahnya.
“Mau ke depan, Yah.”
Kareen kabur, dan Ia bergegas menuju kantor Om Andi.
“Permisi Om, ini cerpen yang Om pesenin kemarin. Maaf Om kalau jelek. Soalnya bikinnya buru-buru.” Kareen terkekeh.
“Iya Reen. Cerpennya bagus kok. Makasih ya.” “Oh iya Reen, minggu depan ada lomba menulis cerpen. Nanti kalau misalnya kamu menang, kamu bisa mewakili Indonesia di Inggris. gimana?”
“Iya Om. Mau banget! Nanti, Kareen bakal bikin cerpen sebaik mungkin.”
Sesampainya di rumah, mata Kareen membelalak. Ia melihat ayahnya tergeletak di teras rumah. Dengan segera ia membawa ayahnya ke rumah sakit.
“Ayah saya sakit apa, Dok?”
“Liver ayah kamu tidak berfungsi, karena terlalu banyak mengkonsumsi minuman keras.”
“Ya Tuhan.. bagaimana cara sembuhnya, Dok?”
“Caranya dengan cangkok liver. Tetapi mencari pendonor sangat susah.”
“Saya bersedia, Dok.”
“Mari ikut saya ke laboratorium”
Hasil laboratorium menunjukkan positif. Kareen bergegas untuk memberi kabar Kak Farhan.
“Halo, Kak gawat! Ayah sekarang di Rumah sakit. Beliau terkena liver” katanya menangis.
“Ya Tuhan, Cobaan apa lagi? Ya udah, kakak segera ke sana.”
Di sela-sela menunggu Kak Farhan datang, Kareen membuat cerpen untuk perlombaan yang di tawarkan Om Andi.
“Kakak!”
“Dek, gimana keadaan beliau sekarang?”
“Kata dokter semakin memburuk. Dan esok aku akan operasi.”
“Operasi buat apa?”
“Cangkok Liver buat Ayah”
Wajah Kak Farhan merah padam dan matanya berkaca-kaca.
“Kak titip ini buat Om Andi ya. terus yang ini buat Ayah”. Sambil menyodorkan dua buah amplop.
Satu minggu setelah itu…
“Kareen.. Kareen..”
“Ada apa Yah?” sahut Kak Farhan.
“Kareen mana?”
Kak Farhan memberikan amplop.
Di bacanya pesan tersebut
Dear Ayah
Ayah.. sudah sembuh?
Sebenarnya Kareen agak marah sama Ayah, kenapa Ayah jadi seperti ini sejak Bunda meninggal? Sedangkan Ayah adalah satu-satunya harapan Kareen. Tapi Kareen gak marah lagi kok Yah..
Oh iya, Selamat ulang Tahun Ayah. Maaf, Kareen gak bisa temenin di tepat hari ulang tahun Ayah. Tapi Kareen punya hadiah untuk Ayah. Liver… Ayah.. mau kan gak akan ngulang kaya gini lagi? Ayah mau janji kan buat jaga Liver Kareen?
Makasih ayah udah baca surat Kareen. Kareen sayang Ayah.
Kareena Putri Mahardika
“Ayah, Kareen memenangkan lomba cerpen dan Ia akan dikirim ke Inggris. Tapi, Kareen sudah…”, Kak Farhan terdiam.
Air mata membasahi pipi ayah Kareen, dan seolah-olah Ia tak percaya bahwa Kareen yang melakukannya.
“Maafkan ayah Nak, sudah membuatmu menderita. Ayah janji akan menjaga yang semuanya kamu berikan.”
Kini Ayahnya merubah semua yang ia lakukan. Mungkin Kareen yang berada di alam sana bahagia melihat ayahnya tidak lagi seperi dulu.
Cerpen Karangan: Retno Dini Pratiwi
Blog: blog: retnodinii.blogspot.com
Facebook: Dini Devro
PELAJARAN DARI SANG PENGEMIS TUA
Kisah dari pengalaman seorang temanku di sekolah. Waktu itu saat pelajaran Bahasa Indonesia, kami diperintahkan untuk menceritakan pengalaman pribadi masing-masing apa saja terserah apa yang mau diceritakan olah kami semua. Saat keesokan harinya tugas itu pun dikumpulkan, dan kami semua juga diperintahkan untuk membacakannya di depan teman-teman semua.
“Tugasnya sudah dikumpulkan semua ini?”. Kata Bu Tika yang merupakan guru Bahasa Indonesia di kelasku bertanya kepada semua murid di dalam kelas itu.
“Sudah Bu”. Kami semua serentak menjawab pertanyaan beliau.
“Ibu mau kalian membacakan cerita kalian di depan kelas, agar teman-teman kalian tahu tentang pengalaman kalian, dan sebagai nilai tambah dalam pelajaran Ibu kali ini.
Setelah mendengar perintah tersebut kami semua pun akhirnya mempersiapkan diri untuk bercerita di depan kelas, walaupun ada beberapa dari temanku tidak mau maju ke depan karena malu untuk membacakannya. Tapi tetap saja demi penilaian akhirnya mereka maju untuk menceritakan kisah mereka masing-masing.
Silih berganti teman-temanku dipanggil untuk menceritakan kisah mereka, kamipun ikut larut pada setiap kisah pengalaman pribadi yang diceritakan semuanya. Sampai pada pembaca yang selanjutnya, itulah temanku gilirannya. Dia menawarkan diri untuk bercerita tanpa dipanggil oleh Bu Tika. Pada saat dia maju ke depan kelas dan menceritakan kisahnya, itu sangat membuatku kagum.
“Pada suatu hari saya sedang menemani ibu saya berbelanja buah di sebuah toko buah di daerah rumah saya. Hampir rutin saya berbelanja buah disana. Suatu ketika, di sore hari saya berbelanja buah dengan ibu saya, seusai berbelanja akhirnya saya pun pulang bersama Ibu saya. Tapi saat saya menuju ke luar toko buah tersebut, di sudut toko buah itu terlihat seseorang sedang duduk dengan pakaian yang tidak selayaknya dipakai, perawakan yang agak tua tubuhnya terlihat lemah dan kelihatannya matanya itu buta.”
“Pada akhirnya saya berniat untuk sedikit menyedekahkan uang saya, walaupun itu hanya beberapa rupiah sisa kembalian berbelanja buah tadi, karena saya kasihan terhadapnya dengan ikhlas dan mengaharapkan Ridho Allah saya berikanlah di atas mangkok yang ada di depannya. Bayangkan seorang pengemis tua yang buta duduk di pinggir toko hanya untuk mengaharap belas kasihan setiap pengunjung dan orang-orang yang berlalu lalang disana. Dia pun terlihat senang pada pemberian saya, dan saya juga senang bisa memberikan sedikit rejeki terhadapnya. Hal itu selalu saya lakukan saat berbelanja ke toko buah itu.”
“Namun pada suatu hari, dengan rasa terburu-buru saya berbelanja di toko buah itu. Kebetulan ibu saya memerintahkan saya untuk kesana. Dengan rasa terburu-buru setelah melakukan transaksi di dalam toko itu, keluarlah saya tanpa memberikan sedikit rejeki saya yang biasanya saya berikan pada pengemis tua itu. Namun, ketika saya keluar dari sana. Saya mendengar pengemis itu berkata *Bu haji kok tidak memberikan saya uang, kenapa langsung pergi?*. kata-kata itu mebuat saya terheran-heran, bagaimana dia tahu kalau saya berada di tempat itu sementara matanya saja dalam keadaan buta. Akhirnya dari situ saya merasa diri saya tertipu oleh pengemis itu, dan saya pun bergegas pulang dengan perasaan kesal, tidak percaya dan sangat kecewa. Padahal saya sudah mempercayai pada apa yang diderita pengemis itu, dan saya pun menjadikan semua pelajaran atas apa yang saya alami saat itu.”.
“Tamat”.
SELAMA  KITA MASIH MEMANDANG LANGIT YANG SAMA
“hei” suara Nada mengagetkanku dari lamunanku.
“hayo lagi ngapain pagi-pagi udah ngelamun di jendela, nungguin si itu yah? haha”
Pertanyaannya langsung membuatku memerah layaknya udang direbus.. yah, tapi memang benar apa yang Nada katakan. Saat ini aku berdiri di depan jendela kelas – tepatnya setiap pagi, sebelum pengajian pagi dimulai – hanya untuk melihat Ashfar kembali ke kelas usai membereskan masjid sekolah.
Siapa yang tak kenal Ashfar, sang ketua risma yg begitu ramah, sholeh, menyenangkan dan agamis. Dari mulai guru, staff TU, satpam sekolah, orang kantin, siswa-siwa, sampai tukang sapu sekolah pun mengenalnya. Sebenarnya jika dilihat dari fisik, tidak ada yang istimewa darinya, dia tidak tampan, tidak putih, juga tidak kaya. Namun hampir di setiap kelas ada wanita yang mengaguminya. Mereka menyukainya bukan karena fisik, lebih dari itu karena Ashfar sosok yang mempunyai kharisma dan aura tersendiri, siapa saja yang melihatnya pasti akan jatuh cinta padanya dengan keteduhan wajahnya.
Setelah Nada menyambarku dengan pertanyaan tersebut aku langsung duduk di kursiku tanpa menggubris pertanyaannya, itu membuatnya semakin antusias menggodaku. Namaku Syifa Nursabila Galen, namun teman-teman akrab memanggilku Sabil, aku sekarang duduk di kelas XII dan tinggal di sebuah pondok pesantren salafi di daerah Kaloran – Serang, Banten. Kami sama-sama duduk di kelas XII Ipa 3, kami sudah cukup lama berteman. Dari kelas X kami duduk satu meja, itu membuat aku dan Nada semakin dekat, terlebih lagi kami memiliki banyak kesamaan hoby dan kebetulan satu komunitas – komunitas film – . yah dialah salah satu sahabat terbaikku, teman suka dan duka, teman curhat segala macam masalah, termasuk kekagumanku terhadap Ashfar, pun dia tahu.
Aku juga tak tahu persis kapan tepatnya aku mencintainya, namun seiring waktu bejalan, cintaku padanya terus tumbuh hingga berbunga. Walaupun aku tahu, itu hanyalah khayalanku saja. Rasanya tidak mungkin seekor rajawali nan gagah jatuh dalam ribahan merpati yang telah patah sayapnya. Aku dan dia bagaikan langit dan bumi, yang tidak akan pernah bertemu. Sosok lelaki sholeh idaman para akhwat cantik nan sholehah, kader dakwah yang siap menyerukan agama-Nya ke seluruh pelosok dunia. Sedangkan aku, perempuan biasa, ah amat biasa bahkan. Aku tak sesholehah mereka (akhwat yang mengagumi Ashfar), tak serajin dluha mereka, apalagi sabanding dengan mereka, sangat jauh. Namun itu semua tak pernah menyurutkanku untuk selalu menjaga cintaku padanya.
Seperti biasa setiap hari minggu pagi, pengajian diisi oleh pemilik pondok pesantren yang aku tempati, abah. Yah, santri di sini biasa memanggilnya dengan sebutan abah. Namun tak seperti biasa, pengajian hanya sampai jam 8, yang biasanya usai jam 12 kini hanya sampai jam 8. Abah pun menyampaikan alasan kenapa pengajian tidak diteruskan, alasannya yaitu karena katanya ada kerabat beliau yang meninggal dunia, sehingga abah beserta keluarga harus segera berta’ziyah. Santri-santri pun langsung menciumi tangan abah (kebiasaan yang dilakukan santri di pondokku setelah pengajian usai) setelah membaca doa kafaratul majlis dan bergegas meninggalkan majlis menuju kamarnya masing-masing.
Aku dan santriwati lainnya pun segera menuju asrama kami. Sesampainya di kamar, aku langsung meletakkan kitab dan beristirahat sejenak sebelum keluar pondok untuk mencari makanan. Setelah kurasa sudah cukup untuk istirahat aku pun bangkit dan berniat keluar asrama untuk mencari makanan, namun sebelum aku keluar, Indri, santriwati yang sekamar denganku mengagetkanku. “teh sabil, handphonenya bunyi. Apa sebaiknya tidak diangkat terlebih dahulu?!” ujar Indri. Aku pun langsung berbalik badan dan mengangkat teleponnya, yang ternyata sahabatku, Nada yang menelepon.
“assalamualaikum bil” terdengar suara Nada di kejauhan sana.
“wa’alaikumsalam, ada apa Da? Tumben banget jam segini udah telpon? Jawabku sambil duduk di tempat tidur.
“hari ini aku ga ada acara, aku boleh main ke pondokmu yah?” suara Nada yang memelas.
“hmm, gimana yah? Boleh deh, hehe” jawabku sambil diiringi oleh cekikikan Nada di sana yang kegirangan.
“oke deh, makasih yooo.. tunggu aku oke”
“oke, yaudah assalamualaikum”
“wa’alaikumsalam.. daaah” klik suara telpon mati.
Aku pun tidak jadi keluar karena takut Nada kesini aku tidak ada, karena teman sekamarku sebentar lagi akan muthola’ah (sorogan) di majlis bersama para senior.
Tak lama kemudian Nada pun datang dan langsung memelukku. Aku persilahkan dia masuk dan kami langsung menghambur di tempat tidur. Kita pun bercana-canda, cerita-cerita, walaupun sesekali dia mengingatkanku pada Ashfar lewat banyolannya. Tiba-tiba saja Nada mulai mengubah nada suaranya menjadi serius, yang membuatku keheranan dengan tingkahnya. Aku pun langsung menanyakan padannya kenapa dia begitu. Tanpa basa basi lagi dia langsung memberitahukanku sesuatu yang membuatku tidak percaya, seakan jantungku berhenti berdetak, aku langsung kaku, lemas rasanya, pikiranku entah pergi kemana.
Nada berkali-kali mengagetkanku, namun aku masih tak bereaksi. Untuk kesekian kalinya dia mengagetkanku yang akhirnya aku sadar. Aku sungguh tak percaya apa yang diucapkan Nada. Akupun berusaha mencerna kata demi kata yang diucapkan Nada padaku. Nada mengatakan padaku bahwa sebenarnya Ashfar juga memiliki rasa yang sama padaku, kabar ini dia peroleh dari sepupunya yang kebetulan menjadi teman baik Ashfar. Aku masih tak percaya, namun Nada tetap meyakinkanku sampai akhirnya aku pun percaya.
Setelah cerita Nada tempo hari tentang Ashfar, aku semakin malu jika bertemu dengan Ashfar. Ini membuatku semakin tak konsentrasi, apalagi sebentar lagi ujian Nasional.. namun aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap fokus pada ujianku.
Hari-hari pun berlalu, hingga ujian pun sudah di depan mata sehingga kami siswa kelas XII sudah disibukkan dengan berbagai latihan dan tryout, kegiatan-kegiatan ini yang membuat aku dan Ashfar sering sekali bertemu, bahkan kami pernah berpapasan langsung, yang membuatku semakin kelu, yang akhirnya kami pun berlalu tanpa sepatah sapaan. Yah, walaupun aku dan Ashfar sudah saling mengetahui perasaan masing-masing, tapi Ashfar tetap diam, dan itu yang membuatku semakin tetap mempertahankannya. Ujian pun kami jalani dengan lancar dan Alhamdulillah dengan hasil yang memuaskan, sehingga sampailah kami pada acara perpisahan yang akan dilaksanakan besok.
Malam semakin larut, namun aku belum bisa memejamkan mataku seperti insan di sekelilingku. Bukan karena aku memikirkan perpisahan besok, bukan juga tentang kemana aku harus melanjutkan studi setelah lulus, juga bukan tentang kesedihanku akan meninggalkan sekolahku yang tercinta ini. Tapi aku memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak aku fikirkan. Aku memikirkan Ashfar, bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Ashfar. Dari tiga tahun yang lalu aku menyimpan perasaan ini dengan rapat sampai aku lulus dia belum juga berani menyapaku. Lalu bagaimana jika setelah ini aku tidak bertemu lagi dengannya. Entahlah, aku pun tertidur dengan sendirinya.
Pagi ini sekolahku sangat ramai. Bagaimana tidak? Kesempatan perpisahan ini dimanfaatkan oleh para alumni untuk reunian atau hanya sekedar temu kangen. Semuanya bahagia, aku pun demikian. Tapi disatu sisi aku tidak bisa mengekspresikan kebahagiaan atas kelulusanku, karena bagaimanapun juga Ashfar tetap mengisi pikiranku dari semalam hingga detik ini. Ku biarkan mata ini menjelajah seisi aula untuk menemukan seseorang yang sangat aku rindu. Namun tetap saja aku tidak menemukannya. Hingga akhirnya acara selesai, tapi aku tetap tidak sempat bertemu dengannya. Sepertinya dia sengaja menghindar dariku. Aku langsung menuju kamar mandi untuk berganti pakaian dan langsung menangis di depan cermin yang sedari tadi aku tahan. Aku sedih, sangat sedih. Hingga di acara terakhir pun aku tidak bisa bertemu dengannya. Aku pun berniat untuk langsung pulang setelah berganti baju.
Selesai ganti baju aku bergegas pulang, hingga di depan pos satpam aku dikagetkan oleh suara ikhwan yang aku kenal baik. Dhika memanggilku. Aku pun menoleh. Setelah ku jawab salam darinya akupun langsung menanyakan kenapa dia memanggilku. Dia pun mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Belum sempat Dhika selesai mengucapkannya, seseorang sudah keluar dari pos satpam dengan menyelipkan untaian senyuman yang membuatku melayang. Tepat sekali. Ashfarlah yang keluar.
“assalamu’alaikum ukh” suaranya yang tiba-tiba membuatku hampir kehilangan kata-kata.
“wa.. wa’alaikumsalam” jawabku yang benar-benar tidak bisa menyembunyikan kegugupanku.
“afwan, ini nomor ponsel antum?” tanyanya sambil menunjukkan nomor ponsel yang ada di atas kertas.
“na’am itu nomor ana” jawabku. “bolehkah aku menyimpannya?” pintanya dengan nada yang lembut.. aku pun mengiyakannya. Dan setelah itu berakhirlah percakapan kami. Dia memohon diri untuk pulang duluan begitupun aku yang segera pulang dengan hati yang berbunga-bunga.. selama aku mengenalnya, tak pernah sekalipun aku bersua dengannya, dan hari ini, Oh My Allah..
Hari demi hari, minggupun berganti minggu, namun belum juga dia menghubungiku. Aku hampir gila menunggu kabar darinya. Karena setelah lulus aku tidak pernah lagi bertemu dengannya dan aku pun tak berani untuk menanyakan kabarnya pada sahabatnya. Di satu sisi aku sedikit bahagia dengan kabar yang aku peroleh, bahwa aku sudah diterima di salah satu perguruan tinggi negeri Islam di Bandung. Namun itu pun sekaligus membuatku tersenyum kecut, karena harapanku padanya semakin lenyap. Beberapa minggu lagi aku harus meninggalkan tanah lahirku ini, Banten, untuk tholabul ‘ilmi di tanah tetangga. Aku semakin tak menentu, aku belum mendengar kabar darinya. Jangankan tahu dia kuliah dimana, keberadaanya saja aku tak tahu.
Besok siang aku berangkat ke Bandung, namun kabar darinya belum juga sampai di telingaku. Aku pun sudah pasrah, menyerahkan seluruhnya pada sang Maha Cinta yang tiada pernah terputus cinta-Nya. Setelah semua keperluan dan pakaianku sudah tersimpan di koper yang besok akan kubawa. Aku langsung merebahkan tubuhku di tempat yang mungil namun cukup nyaman bagiku. Baru saja aku akan memejamkan mata tiba-tiba ponselku berdering, langsung aku ambil dan ternyata ada pesan yang cukup panjang dari nomor yang tidak kukenal, kurang lebih seperti ini bunyi pesannya;
“assalamu’alaikum. Semoga Allah tetap melindungi kita dalam lindungan-Nya aamiin. Ukh, ini ana Ashfar. ‘afwan ana baru menghubungi antum sekarang. Bagaimana kabar antum? Ana harap kabar antum baik, ana disini Alhamdulillah baik-baik saja. Selamat, ana dengar antum sudah diterima di PTN yang antum mau, semoga semuanya dimudahkan. Syukron atas doa-doanya, Alhamdulillah ana diterima di universitas Al-Azhar Cairo – Mesir, dua bulan kedepan ana berangkat dan besok insyaAllah tasyakurannya dengan teman-teman sebelum mereka berangkat ke kota PTNnya masing-masing. Ana sangat berharap kedatangan antum besok di kediaman ana jam 10.. jazakallahu khoiron katsiron”.
Degg.. lagi-lagi perasaanku tak menentu. Aku berulang-ulang membaca pesan itu, tetap saja isinya sama. Aku bangga padanya, namun aku tak bisa menolak kenyataan bahwa dengan demikian kami semakin jauh, apalagi di negri orang, benua yang berbeda. Aku pun langsung menemui ibuku untuk menunjukkan pesan itu pada beliau, aku ceritakan semua isi hatiku terhadap Ashfar pada ibu. setelah ibu membacanya, kemudian ibu memegang wajahku dan mengusap butiran bening di sudut mataku yang sedari tadi turun, dan mengatakan bahwa aku tidak diizinkan untuk menghadirinya karena aku harus tetap berangkat ke Bandung, dengan tersenyum dan tetap tenang ibu berkata “Allah tidak tidur, apa yang ada di hatimu pun Dia tahu. Jika memang dia terbaik untukmu tentu saja Allah akan mendekatkan kalian, di manapun kalian berada dan sebaliknya sedekat apapun kalian jika Allah tidak menghendakinya maka akan terpisah begitu saja. Yakinlah jodoh tak akan kemana, jodoh tak akan salah alamat”. Ibu menyelesaikan nasehatnya dengan memelukku.
Ibu mengantarku ke tempat tidur. Setelah ibu keluar, aku langsung membalas pesannya, aku katakan permohonan maafku padanya bahwa aku tidak bisa menghadiri tasyakurannya karena tidak diizinkan karna keberangkatanku ke Bandung tidak bisa ditunda. Beberapa menit kemudian aku mendapat balasan pesan darinya.
“Alhamdulillah antum baik-baik saja. Laa ba’sa ukhti tidak datang, asalkan ukhti berkenan untuk mendoakan ana agar dilancarkan. Memang benar apa yang dikatakan ibu ukhti, tidak harus dipaksakan. Namun ukhti harus tetap percaya, selama kita masih memandang langit yang sama perasaan ana akan tetap seperti semula, dan kita tetap masih di bumi Allah, kita tidak pernah jauh. Semoga Allah mempertemukan kita dalam kesempatan yang di ridloi-Nya. Tunggu ana kembali, tunggu ana menjemput antum menjadi “huurun” ana”. Air mataku pun terus mengalir membaca pesan itu. Yah memang benar, kita masih memandang langit yang sama.
Tepat pukul 10 siang aku berangkat ke Bandung. Selama aku di sini, aku tetap istiqomah untuk menjaga hatiku hanya untuk Ashfar. Sekarang aku sudah dua tahun disini dan selama itu aku tetap menjaga hatiku untuknya walaupun sejak saat itu tak ada lagi kabar, bahkan nomor ponselnya pun sudah tidak aktif lagi, namun aku tetap percaya dan menyerahkan semuanya kepada Allah yang walaupun aku tak tahu kapan aku bisa dipertemukan kembali dengan cinta dalam diamku.. selama kita masih memandang langit yang sama..
















DOKTER YANG DATANG TERLAMBAT
Ruang tunggu kecil yang terletak di bagian dalam sebuah apotik itu dipenuhi pasien. Mereka duduk di kursi-kursi dan memegang selembar kecil kertas yang bertuliskan nomor antrian dengan wajah gusar. Seorang lelaki tua yang ditemani anak lelakinya duduk dengan mata terpejam dan kepala menyandar ke dinding. Dadanya naik turun dengan tempo cepat. Sementara di sisi lain, seorang wanita paruh baya mengobrol dengan pasien lain sambil sesekali melirik jam tangannya. Seorang pemuda berusia dua puluhan berjalan mondar mandir. Kelihatannya setiap orang dibuat kesal dan marah. Asisten dokter, seorang lelaki berbadan gendut dibungkus kemeja hijau terus menerus mengucapkan lelucon bersama seorang pasien bertubuh kurus. Mereka tampak akrab. Tawa mereka memenuhi ruangan yang pengap itu.
Dua jam berlalu, sang dokter belum juga menunjukan batang hidungnya. Pemuda itu tak mampu lagi menahan gejolak emosinya.
“Sudah hampir dua jam aku di tempat ini, kemana dokter itu belum juga datang?” Serunya. Suaranya menyita perhatian orang-orang yang berada di situ.
“Aku juga.” Sahut seseorang. “Aku datang kemari ketika belum ada seorang pun. Seharusnya dokter itu tiba satu setengah jam yang lalu.”
“Mungkin ia tengah terjebak macet.” Sahut seorang ibu-ibu yang duduk di pojok ruangan.
Asisten dokter itu bangkit dari duduknya. Ia meninggalkan meja kecil yang dipenuhi daftar nama pengunjung hari itu. Tanpa mengacuhkan komentar para pasien, ia berjalan keluar lalu menyalakan rok*k. Ia tampak tak peduli dengan sebagian pasien yang menatap marah. Ia hanya tak peduli. Pemuda tadi mengekor, ia butuh udara segar karena terlalu lama dalam ruangan itu membuat dadanya sesak dan pikirannya panas.
Si asisten merok*k sambil memandangi jalan raya yang penuh oleh kendaraan yang melintas. Malam cerah seperti ini biasanya banyak anak-anak muda tanggung melakukan balapan liar. Terkadang timbul korban jiwa. Dasar bodoh, gumam si asisten.
Pria kurus tadi menyusul. Ia mengencangkan jaket tebalnya dan melihat sekeliling. Matanya yang sayu tampak buram di bawah sinar lampu penerangan jalan yang redup. Kedua tangannya dilipat di dada.
“Apa dokter itu baik-baik saja?” kata pria kurus itu.
“Tentu saja.” sahut si asisten dengan pasti.
“Ku dengar ia tengah terlibat masalah. Benar begitu?”
Si asisten terlihat tidak enak dengan perkataan itu. Ia berusaha menutupi. Si pemuda mendengarkan saja tanpa memberikan komentar.
“Aku tak tahu. Ia tak berbicara hal semacam itu selain pekerjaan”
“Memangnya masalah apa?” ujar si pemuda penasaran.
“Sudahlah, jangan menyebar gosip.” Sahut si asisten pada pria kurus.
“Tidak. Aku tak bermaksud begitu. Hanya saja perkara itu mulai merebak dan meresahkan sebagian besar pekerja di rumah sakit.”
“Memangnya masalah apa?” kata si pemuda sekali lagi.
Si asisten mendesah. Ia terbatuk-batuk. Namun seperti dibuat-buat. Ia tak ingin membicarakan hal seperti itu lagi. Baginya bekerja di situ saja sudah cukup membahagiakan. Ia tak ingin menjadi penganggur yang menjadi cemoohan para tetangga. Sudah cukup baginya melewatkan hari-hari yang membosankan dan membuat pikirannya tertekan. Tapi ia harus menjaga profesionalismenya sebagai asisten dokter. Max tersenyum seperti mengejek. Ia memang sudah berteman lama dengan si asisten yang hanya mampu bekerja sampai disitu saja. Sedangkan Max bekerja di sebuah bank di pusat kota. Ia menjadi bujangan tua meski masih mampu menikmati hidupnya dengan mengunjungi bar-bar yang dipenuhi wanita cantik dan orang-orang yang putus asa; menghamburkan uang demi sebuah kebahagiaan yang tak kan pernah bisa ia pahami.. Dengan begitu, ia menghibur dirinya. Wajahnya yang tirus tampak lelah dan pucat.
“Gadis itu sepantasnya jadi anaknya.” Kata Max.
“Ya, tapi ku akui, dokter itu punya pesona yang tak biasa. Tampan dan kaya, dan belum menikah.”
“Ya, dan kini semua orang membicarakan mereka dan moralitas dan kau mulai membela dokter malang ini.”
“Persetan. Orang-orang munafik yang senang mencari kesalahan orang lain. Aku benci orang-orang seperti itu. Sebenarnya tak ada yang salah. Tapi pendapat orang bisa berbeda-beda.” Ujar si asisten.
“Ya, persetan.” Sambar si pemuda sambil tertawa.
Pria kurus dan asisten itu menatap tajam si pemuda. Mereka tampak tidak senang sehingga pemuda itu menyesali perkataannya.
“Maaf.” Katanya kemudian. “Mungkin sebaiknya aku masuk ke dalam dan menunggu.”
“Sebaiknya begitu, anak muda.” Kata si asisten.
Pemuda itu berbalik dan berjalan dengan wajah tertunduk menuju deretan kursi di ruang tunggu. Sebelum duduk, ia memandang sekali lagi ke arah pria kurus dan si asisten, lalu menjatuhkan pandangannya ke lantai berubin putih.
“Sudahlah, Max. Tak ada gunanya membicarakan urusan pribadi orang lain.”
“Aku tahu. Masalahnya, gadis ini keluarga dekatku, Jon. Aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya.”
“Gadis itu sendiri bagaimana? Maksudku, apakah ia terlihat seperti tertekan dengan pemberitaan mengenai hal itu?”
“Tentu saja. Kedua orang tuanya bahkan marah besar. Mereka memintaku untuk menasihatinya.”
Si asisten membisu sesaat. Ia menyalakan lagi rok*knya.
“Harusnya, kalau dia merasa malu, ya jangan dilakukan. Lantas, sudah kau temui gadis itu?”
“Belum. Aku tak tahu apakah harus menemuinya atau tidak.”
“Kenapa memangnya?”
“Menurutku, sia-sia saja. Dia ‘kan sudah dewasa.”
“Ah, keluarga macam apa kau ini.”
“Bukankah kalau kedua orang tuanya peduli, mereka yang mesti datang kemari dan mengatakannya secara langsung?”
“Kau benar. Tapi setidaknya kau menunjukan tanggung jawabmu sebagai paman yang baik.”
“Ah, sudahlah Jon. Menurutmu, dokter itu bisa dipercaya? Ataukah sama halnya dengan playb*y murahan yang bersembunyi dibalik kekayaan yang mereka miliki?”
“Aku tak tahu pasti, Max. Aku tak terlalu mengenal orang itu. Ia tak banyak bicara. Bahkan aku tak tahu dimana ia tinggal.”
“Ya, ampun. Memangnya sudah berapa lama kau bekerja dengannya?”
“Hampir setahun.”
“Aneh juga kau tidak mengenalnya.”
“Ya, separuh koleganya mengakui tabir misterius yang menyelimuti pribadi dokter ini.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Aku mendengar mereka membicarakannya.”
Si asisten hendak mengatakan sesuatu namun urung dilakukan ketika sebuah mobil Avanza G warna hitam berhenti tepat di depan apotik. Sesosok pria berusia sekitar 50-an muncul dari dalam mobil yang mengkilap dan mulus. Pakaian putih dan stetoskop yang melingkar di lehernya dan tas jinjing berbentuk persegi di tangan kanannya menandakan bahwa ia seorang dokter. Badannya tegap tinggi dengan langkah besar meski rambutnya mulai memutih. Matanya redup dan ia tampak ragu-ragu. Ia melewati si asisten dan pria kurus tanpa berkata.
Si asisten segera kembali ke meja tulisnya meninggalkan pria kurus. Dokter itu membisikan sesuatu padanya. Si asisten mengangguk-angguk sambil melirik ke arah pria kurus. Kemudian, sang dokter masuk ke dalam ruangan pemeriksaan. Si pemuda pun bergegas menyusul ke dalam. Tampaknya, malam ini akan sangat sibuk.
Cerpen Karangan: Patrick Andromeda
Facebook: Patrick Andromeda






Comments